Senin, 28 Juli 2008

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia


Pada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom dijatuhkan di atas kota Hiroshima di Jepang, oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang di seluruh dunia. Sehari kemudian BPUPKI berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau disebut juga Dokuritsu Zyunbi IInkai dalam bahasa Jepang, untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki sehingga menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.

Soekarno, Hatta selaku pimpinan PPKI dan Radjiman Wedyodiningrat sebagai mantan ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, 250 km di sebelah timur laut Saigon, Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang di ambang kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Sementara itu di Indonesia, pada tanggal 10 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak bentuk kemerdekaan yang diberikan sebagai hadiah Jepang. Syahrir memberitahu penyair Chairil Anwar tentang dijatuhkannya bom atom di Nagasaki dan bahwa Jepang telah menerima ultimatum dari Sekutu untuk menyerah. Syahrir mengetahui hal itu melalui siaran radio luar negeri, yang ketika itu terlarang. Berita ini kemudian tersebar di lingkungan para pemuda terutama para pendukung Syahrir.

Pada tanggal 12 Agustus 1945, Jepang melalui Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam, mengatakan kepada Soekarno, Hatta dan Radjiman bahwa pemerintah Jepang akan segera memberikan kemerdekaan kepada Indonesia dan proklamasi kemerdekaan dapat dilaksanakan dalam beberapa hari, tergantung cara kerja PPKI.[1] Meskipun demikian Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 24 Agustus.

Dua hari kemudian, saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat, Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang setiap saat sudah harus menyerah kepada Sekutu dan demi menghindari perpecahan dalam kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang. Hatta menceritakan kepada Syahrir tentang hasil pertemuan di Dalat.

Sementara itu Syahrir menyiapkan pengikutnya yang bakal berdemonstrasi dan bahkan mungkin harus siap menghadapi bala tentara Jepang dalam hal mereka akan menggunakan kekerasan. Syahrir telah menyusun teks proklamasi dan telah dikirimkan ke seluruh Jawa untuk dicetak dan dibagi-bagikan.

Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah, dan proklamasi kemerdekaan RI saat itu dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar, dan dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap. Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sementara itu Syahrir menganggap PPKI adalah badan buatan Jepang dan proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan 'hadiah' dari Jepang.

Pada tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Belanda. Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh mendengar kabar ini melalui radio BBC. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan pemberian Jepang.

Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Tapi kantor tersebut kosong.

Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana Maeda, di Jalan Imam Bonjol no. 1. Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat. Sambil menjawab ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo. Sepulang dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera mempersiapkan pertemuan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada pukul 10 malam 16 Agustus keesokan harinya di kantor Jalan Pejambon No 2 guna membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan UUD yang sehari sebelumnya telah disiapkan Hatta.

Sehari kemudian, gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pengikut Syahrir. Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul. Peserta rapat tidak tahu telah terjadi peristiwa Rengasdengklok.

Peristiwa Rengasdengklok

Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, yang tergabung dalam gerakan bawah tanah kehilangan kesabaran, dan pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945. Bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan pemuda lain, mereka menculik Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, dan membawanya ke Rengasdengklok, yang kemudian terkenal sebagai peristiwa Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya.

Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjo melakukan perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok. Mereka menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Mr. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu - buru memproklamasikan kemerdekaan. Setelah tiba di Jakarta, mereka langsung menuju ke rumah Laksamana Maeda di Jl. Imam Bonjol No. 1 (sekarang gedung museum perumusan teks proklamasi) yang diperkirakan aman dari Jepang. Sekitar 15 pemuda menuntut Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan melalui radio, disusul pengambilalihan kekuasaan. Mereka juga menolak rencana PPKI untuk memproklamasikan kemerdekaan pada 16 Agustus.

Pertemuan Soekarno/Hatta dengan Jenderal Yamamoto dan Laksamana Maeda

Malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta, bertemu dengan Letnan Jenderal Moichiro Yamamoto, komandan Angkatan Darat pemerintahan militer Jepang (Gunseikan) di Hindia Belanda dengan sepengetahuan Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, Kepala Departemen Urusan Umum pemerintahan militer Jepang. Dari komunikasi antara Hatta dan tangan kanan komandan Jepang di Jawa ini, Soekarno dan Hatta menjadi yakin bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu, dan tidak memiliki wewenang lagi untuk memberikan kemerdekaan.

Setelah itu mereka bermalam di kediaman Laksamana Maeda (kini Jalan Imam Bonjol No.1) untuk melakukan rapat untuk menyiapkan teks Proklamasi. Rapat dihadiri oleh Soekarno, M. Hatta, Achmad Soebardjo, Soekarni dan Sajuti Melik. Setelah konsep selesai disepakati, Sajuti menyalin dan mengetik naskah tersebut. Pada awalnya pembacaan proklamasi akan dilakukan di Lapangan Ikada, namun berhubung alasan keamanan dipindahkan ke kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56[2] (sekarang Jl. Proklamasi no. 1).

Sebelumnya para pemuda mengusulkan agar naskah proklamasi menyatakan semua aparat pemerintahan harus dikuasai oleh rakyat dari pihak asing yang masih menguasainya. Tetapi mayoritas anggota PPKI menolaknya dan disetujuilah naskah proklamasi seperti adanya hingga sekarang.

Para pemuda juga menuntut enam pemuda turut menandatangani proklamasi bersama Soekarno dan Hatta dan bukan para anggota PPKI. Para pemuda menganggap PPKI mewakili Jepang. Kompromi pun terwujud dengan membubuhkan anak kalimat "atas nama Bangsa Indonesia" Soekarno-Hatta.

Detik-detik Pembacaan Naskah Proklamasi

Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00 - 04.00 dini hari. Teks proklamasi ditulis di ruang makan di kediaman Soekarno, Jl. Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Para penyusun teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M Diah Sayuti Melik, Sukarni dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Teks Proklamasi Indonesia itu diketik oleh Sayuti melik. Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti. Acara dimulai pada pukul 10:00 dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah Putih, yang telah dijahit oleh bu Fatmawati, dikibarkan, disusul dengan sambutan oleh Soewirjo, wakil walikota Jakarta saat itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.

Pada awalnya Trimurti diminta untuk menaikkan bendera namun ia menolak dengan alasan pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Oleh sebab itu ditunjuklah Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed untuk tugas tersebut. Seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah Putih (Sang Saka Merah Putih), yang dijahit oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Setelah bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya.[4]. Sampai saat ini, bendera pusaka tersebut masih disimpan di Museum Tugu Monumen Nasional.

Setelah upacara selesai berlangsung, kurang lebih 100 orang anggota Barisan Pelopor yang dipimpin S.Brata datang terburu-buru karena mereka tidak mengetahui perubahan tempat mendadak dari Ikada ke Pegangsaan. Mereka menuntut Soekarno mengulang pembacaan Proklamasi, namun ditolak. Akhirnya Hatta memberikan amanat singkat kepada mereka.[5]


Pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengambil keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai dasar negara Republik Indonesia, yang selanjutnya dikenal sebagai UUD 45. Dengan demikian terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan dibentuk kemudian.

Setelah itu Soekarno dan M.Hatta terpilih atas usul dari otto iskandardinata dan persetujuan dari PPKI sebagai presiden dan wakil presiden Republik Indonesia yang pertama. Presiden dan wakil presiden akan dibantu oleh sebuah Komite Nasional.

Budi Utomo

Latar belakang

Budi Utomo lahir dari pertemuan-pertemuan dan diskusi yang sering dilakukan di perpustakaan School tot Opleiding van Inlandsche Artsen oleh beberapa mahasiswa, antara lain Soetomo, Goenawan Mangoenkoesoemo, Goembrek, Saleh, dan Soeleman. Mereka memikirkan nasib bangsa yang sangat buruk dan selalu dianggap bodoh dan tidak bermartabat oleh bangsa lain (Belanda), serta bagaimana cara memperbaiki keadaan yang amat buruk dan tidak adil itu. Para pejabat pangreh praja (sekarang pamong praja) kebanyakan hanya memikirkan kepentingan sendiri dan jabatan. Dalam praktik mereka pun tampak menindas rakyat dan bangsa sendiri, misalnya dengan menarik pajak sebanyak-banyaknya untuk menyenangkan hati atasan dan para penguasa Belanda.

Para pemuda mahasiswa itu juga menyadari bahwa orang-orang lain mendirikan perkumpulan hanya untuk golongan sendiri dan tidak mau mengajak, bahkan tidak menerima, orang Jawa sesama penduduk Pulau Jawa untuk menjadi anggota perkumpulan yang eksklusif, seperti Tiong Hoa Hwee Koan untuk orang Tionghoa dan Indische Bond untuk orang Indo-Belanda. Pemerintah Hindia Belanda jelas juga tidak bisa diharapkan mau menolong dan memperbaiki nasib rakyat kecil kaum pribumi, bahkan sebaliknya, merekalah yang selama ini menyengsarakan kaum pribumi dengan mengeluarkan peraturan-peraturan yang sangat merugikan rakyat kecil.

Para pemuda itu akhirnya berkesimpulan bahwa merekalah yang harus mengambil prakarsa menolong rakyatnya sendiri. Pada waktu itulah muncul gagasan Soetomo untuk mendirikan sebuah perkumpulan yang akan mempersatukan semua orang Jawa, Sunda, dan Madura yang diharapkan bisa dan bersedia memikirkan serta memperbaiki nasib bangsanya. Perkumpulan ini tidak bersifat eksklusif tetapi terbuka untuk siapa saja tanpa melihat kedudukan, kekayaan, atau pendidikannya.

Pada awalnya, para pemuda itu berjuang untuk penduduk yang tinggal di Pulau Jawa dan Madura, yang untuk mudahnya disebut saja suku bangsa Jawa. Mereka mengakui bahwa mereka belum mengetahui nasib, aspirasi, dan keinginan suku-suku bangsa lain di luar Pulau Jawa, terutama Sumatera, Sulawesi, dan Maluku. Apa yang diketahui adalah bahwa Belanda menguasai suatu wilayah yang disebut Hindia (Timur) Belanda (Nederlandsch Oost-Indie), tetapi sejarah penjajahan dan nasib suku-suku bangsa yang ada di wilayah itu bermacam-macam, begitu pula kebudayaannya. Dengan demikian, sekali lagi pada awalnya Budi Utomo memang memusatkan perhatiannya pada penduduk yang mendiami Pulau Jawa dan Madura saja karena, menurut anggapan para pemuda itu, penduduk Pulau Jawa dan Madura terikat oleh kebudayaan yang sama.

Sekalipun para pemuda itu merasa tidak tahu banyak tentang nasib, keadaan, sejarah, dan aspirasi suku-suku bangsa di luar Pulau Jawa dan Madura, mereka tahu bahwa saat itu orang Manado di Sulawesi mendapat gaji lebih banyak dan diperlakukan lebih baik daripada orang Jawa. Padahal, dari sisi pendidikan, keduanya berjenjang sama. Itulah sebabnya pemuda Soetomo dan kawan-kawan tidak mengajak pemuda-pemuda di luar Jawa untuk bekerja sama, hanya karena khawatir untuk ditolak.

Budi Utomo

Pada hari Minggu, 20 Mei 1908, pada pukul sembilan pagi, bertempat di salah satu ruang belajar STOVIA, Soetomo menjelaskan gagasannya. Dia menyatakan bahwa hari depan bangsa dan Tanah Air ada di tangan mereka. Maka lahirlah Boedi Oetomo. Namun, para pemuda juga menyadari bahwa tugas mereka sebagai mahasiswa kedokteran masih banyak, di samping harus berorganisasi. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa "kaum tua"-lah yang harus memimpin Budi Utomo, sedangkan para pemuda sendiri akan menjadi motor yang akan menggerakkan organisasi itu.

Sepuluh tahun pertama Budi Utomo mengalami beberapa kali pergantian pemimpin organisasi. Kebanyakan memang para pemimpin berasal kalangan "priayi" atau para bangsawan dari kalangan keraton, seperti Raden Adipati Tirtokoesoemo, bekas Bupati Karanganyar (presiden pertama Budi Utomo), dan Pangeran Ario Noto Dirodjo dari Keraton Pakualaman.

Perkembangan

Budi Utomo mengalami fase perkembangan penting saat kepemimpinan Pangeran Noto Dirodjo. Saat itu, Douwes Dekker, seorang Indo-Belanda yang sangat properjuangan bangsa Indonesia, dengan terus terang mewujudkan kata "politik" ke dalam tindakan yang nyata. Berkat pengaruhnyalah pengertian mengenai "tanah air Indonesia" makin lama makin bisa diterima dan masuk ke dalam pemahaman orang Jawa. Maka muncullah Indische Partij yang sudah lama dipersiapkan oleh Douwes Dekker melalui aksi persnya. Perkumpulan ini bersifat politik dan terbuka bagi semua orang Indonesia tanpa terkecuali. Baginya "tanah air" (Indonesia) adalah di atas segala-galanya.

Pada masa itu pula muncul Sarekat Islam, yang pada awalnya dimaksudkan sebagai suatu perhimpunan bagi para pedagang besar maupun kecil di Solo dengan nama Sarekat Dagang Islam, untuk saling memberi bantuan dan dukungan. Tidak berapa lama, nama itu diubah oleh, antara lain, Tjokroaminoto, menjadi Sarekat Islam, yang bertujuan untuk mempersatukan semua orang Indonesia yang hidupnya tertindas oleh penjajahan. Sudah pasti keberadaan perkumpulan ini ditakuti orang Belanda. Munculnya gerakan yang bersifat politik semacam itu rupanya yang menyebabkan Budi Utomo agak terdesak ke belakang. Kepemimpinan perjuangan orang Indonesia diambil alih oleh Sarekat Islam dan Indische Partij karena dalam arena politik Budi Utomo memang belum berpengalaman.

Karena gerakan politik perkumpulan-perkumpulan tersebut, makna nasionalisme makin dimengerti oleh kalangan luas. Ada beberapa kasus yang memperkuat makna tersebut. Ketika Pemerintah Hindia Belanda hendak merayakan ulang tahun kemerdekaan negerinya, dengan menggunakan uang orang Indonesia sebagai bantuan kepada pemerintah yang dipungut melalui penjabat pangreh praja pribumi, misalnya, rakyat menjadi sangat marah.

Kemarahan itu mendorong Soewardi Suryaningrat (yang kemudian bernama Ki Hadjar Dewantara) untuk menulis sebuah artikel "Als ik Nederlander was" (Seandainya Saya Seorang Belanda), yang dimaksudkan sebagai suatu sindiran yang sangat pedas terhadap pihak Belanda. Tulisan itu pula yang menjebloskan dirinya bersama dua teman dan pembelanya, yaitu Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo ke penjara oleh Pemerintah Hindia Belanda (lihat: Boemi Poetera). Namun, sejak itu Budi Utomo tampil sebagai motor politik di dalam pergerakan orang-orang pribumi.

Agak berbeda dengan Goenawan Mangoenkoesoemo yang lebih mengutamakan kebudayaan dari pendidikan, Soewardi menyatakan bahwa Budi Utomo adalah manifestasi dari perjuangan nasionalisme. Menurut Soewardi, orang-orang Indonesia mengajarkan kepada bangsanya bahwa "nasionalisme Indonesia" tidaklah bersifat kultural, tetapi murni bersifat politik. Dengan demikian, nasionalisme terdapat pada orang Sumatera maupun Jawa, Sulawesi maupun Maluku.

Pendapat tersebut bertentangan dengan beberapa pendapat yang mengatakan bahwa Budi Utomo hanya mengenal nasionalisme Jawa sebagai alat untuk mempersatukan orang Jawa dengan menolak suku bangsa lain. Demikian pula Sarekat Islam juga tidak mengenal pengertian nasionalisme, tetapi hanya mempersyaratkan agama Islam agar seseorang bisa menjadi anggota.

Namun, Soewardi tetap mengatakan bahwa pada hakikatnya akan segera tampak bahwa dalam perhimpunan Budi Utomo maupun Sarekat Islam, nasionalisme "Indonesia" ada dan merupakan unsur yang paling penting.


PROKLAMASI


Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan

Indonesia.

Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., di-

selenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang se-

singkat-singkatnja.


Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen '05
Atas nama bangsa Indonesia.

Soekarno/Hatta.

(tanda tangan Soekarno)

(tanda tangan Hatta)

Sumber:

Dari Wikisource Indonesia, perpustakaan bebas berbahasa Indonesia

Minggu, 27 Juli 2008

BENDERA INDONESIA

Bendera nasional Indonesia adalah sebuah bendera berdesain sederhana dengan dua warna yang dibagi menjadi dua bagian secara mendatar (horizontal). Warnanya diambil dari warna Kerajaan Majapahit. Sebenarnya tidak hanya kerajaan Majapahit saja yang memakai bendera merah putih sebagai lambang kebesaran. Sebelum Majapahit, kerajaan Kediri telah memakai panji-panji merah putih.

Selain itu, bendera perang Sisingamangaraja IX dari tanah Batak pun memakai warna merah putih sebagai warna benderanya , bergambar pedang kembar warna putih dengan dasar merah menyala dan putih. Warna merah dan putih ini adalah bendera perang Sisingamangaraja XII. Dua pedang kembar melambangkan piso gaja dompak, pusaka raja-raja Sisingamangaraja I-XII.[1]

Ketika terjadi perang di Aceh, pejuang – pejuang Aceh telah menggunakan bendera perang berupa umbul-umbul dengan warna merah dan putih, di bagian belakang diaplikasikan gambar pedang, bulan sabit, matahari, dan bintang serta beberapa ayat suci Al Quran.[2]

Di jaman kerajaan Bugis Bone,Sulawesi Selatan sebelum Arung Palakka, bendera Merah Putih, adalah simbol kekuasaan dan kebesaran kerajaan Bone.Bendera Bone itu dikenal dengan nama Woromporang.[3]

Pada waktu perang Jawa (1825-1830 M) Pangeran Diponegoro memakai panji-panji berwarna merah putih dalam perjuangannya melawan Belanda.

Bendera yang dinamakan Sang Merah Putih ini pertama kali digunakan oleh para pelajar dan kaum nasionalis pada awal abad ke-20 di bawah kekuasaan Belanda. Setelah Perang Dunia II berakhir, Indonesia merdeka dan mulai menggunakan bendera ini sebagai bendera nasional.

Arti Warna

Bendera Indonesia memiliki makna filosofis. Merah berarti berani, putih berarti suci. Merah melambangkan tubuh manusia, sedangkan putih melambangkan jiwa manusia. Keduanya saling melengkapi dan menyempurnakan untuk Indonesia.

Ditinjau dari segi sejarah, sejak dahulu kala kedua warna merah dan putih mengandung makna yang suci. Warna merah mirip dengan warna gula jawa/gula aren dan warna putih mirip dengan warna nasi. Kedua bahan ini adalah bahan utama dalam masakan Indonesia, terutama di pulau Jawa. Ketika Kerajaan Majapahit berjaya di Nusantara, warna panji-panji yang digunakan adalah merah dan putih (umbul-umbul abang putih). Sejak dulu warna merah dan putih ini oleh orang Jawa digunakan untuk upacara selamatan kandungan bayi sesudah berusia empat bulan di dalam rahim berupa bubur yang diberi pewarna merah sebagian. Orang Jawa percaya bahwa kehamilan dimulai sejak bersatunya unsur merah sebagai lambang ibu, yaitu darah yang tumpah ketika sang jabang bayi lahir, dan unsur putih sebagai lambang ayah, yang ditanam di gua garba.

Rabu, 23 Juli 2008

Puisi Ku

RENUNGANKU

Kemarin,
Aku menatap seberkas warna
Menyapa dengan lembut dihati
Mengundang keras degup jantungku
Menyalimuti kebahagiaan dari kecemasan
Hari ini,
Semua minpi akan datang dengan indah
Menghasilkan lembaran memori hijau
Yang tetap teringat walauterjaga
Besok,
Aku akan mulai perjalanan panjang
Melewati lembah dan gunung
Menepis kabut iri dan kecil hati
Optimis adalah kuncu keberhasilan
Begitulah pesan orang pertama
Selamanya,
Setiap hembusan dalam nafasku
Setiap tatap dalam pandanganku
Setiap jengkal dalam langkahku
Kurelakan satu kenangan ini
Mengiringi roda kehidupanku

HUJAN

Ketika ramai seorang diri
Hentakan dikejauhan terasa jua
Percikan segala api listrik dimuka
Kunjung dari langit ke bumi
Tebaran rintik air mengguyur
Suara gaduh tak henti-hentinya
Berbisik menghampiri jiwa
Sepintas bayangan hancur
Dalam gelap disertai petir dan badai
Air-air yang datang bersama gelisah
Terabaikan sanubari di terjang
Sungguh terasa bimbang jiwa ini
Sekali-kali berbondong-bondong
Curahan air berkecamuk ke semua arah
Tak kunjung pula seperti reda
Hempasan angin terus condong
Seketika terang datang disaat sepi
Merayu tuk keluar bersama hujan
Terdengar hinggapan air menenangkan diri
Layaknya seorang berdiri berwibawa
Separuh kegelisahan sirna di tepi jalan
Terbawa sesaat sampai hilangnya rintik air
Namun alam tak peduli
Terus membawa topan air hingga sampai

TSUNAMI


Guncangan bumi, tanah pun retak
Gulungan ombak datang menyerang
Menerjang alam dan isinya
Ribuan nyawa terhempas melayang
Ribuan rumah pun roboh
Pepohonan banyak yang tumbang
Harta benda hanyut menghilang
Porak-poranda, itulah keadaanya
Jerit dan tangisan, itulah suaranya
Keributan, itulah suasananya
Ribuan nyawa terhempas melayang
Ribuan mayat pun berserakan
Menutupi tanah ini
Sedih dan pilu hatiku rasanya
Melihat bencana ini
Namun dibalik semua itu
Pasti ada makna illahi

SOBAT

Sobat,
Ingatkah kau dihalaman depan ini
Saat kau berlari dan mengejarku
Kau mendekap tubuh lunglai ini
Linangan air mata membasahi pipimu
Sobat,
Wajahmu yang merah menahan marah
Rasa isak dan segumpal tangan kananmu
Tubuh letih dan lelahmu
Hilang saat kau berkata padaku
Sobat,
Aku tersenyum padamu
Aku mengerti perasaan dihatimu
Dan ingatlah slalu
Ada satu kalimat pesan untukmu
Pesimis tak bernilai hikmah tinggi

Kamis, 17 Juli 2008

Peringatan 100 Tahun Hari Kebangkitan Nasional


Peringatan 100 Tahun Hari Kebangkitan Nasional di Stadion Utama Gelora Bung Karno Senayan Jakarta, Selasa 20 Mei 2008. Kegiatan-kegiatan peringatan 100 Tahun Harkitnas lainnya digelar sampai setahun ke depan (20 Mei 2009).

'Indonesia Bisa' Terdengar di Tokyo

TOKYO, - Teriakan "Indonesia Bisa" terdengar nyaring sebanyak tiga kali berturut-turut dari bibir sekitar 150 warga Indonesia di Tokyo, Rabu (21/5), ketika mereka sedang mengikuti upacara Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) yang berlangsung di halaman Wisma Duta, tempat kediaman resmi Dubes RI untuk Jepang.

Teriakan bersemangat itu merupakan respons dari seruan Dubes RI untuk Jepang Jusuf Anwar yang meminta ratusan warga Indonesia itu untuk menyerukan kata-kata "Indonesia Bisa" sebanyak tiga kali. Upacara yang berlangsung dalam cuaca yang sejuk itu juga menandai 100 Tahun Kebangkitan Nasional yang dimulai pada tahun 1908.

"Terima kasi
h atas semangatnya. Ini bisa menjadi pertanda bahwa semangat nasionalisme masih tetap tinggi di dada warga Indonesia, meski kita berada jauh dari tanah air," kata Jusuf Anwar usai dikumandangkannya yel-yel tersebut.

Indonesia Bisa, ujar Dubes, merupakan slogan yang diharapkan mampu menggugah kembali semangat kebangsaan rakyat Indonesia untuk meraih cita-citanya menjadi bangsa yang maju dan negara terdepan dalam percaturan global.

Dubes pada kesempatan itu juga menjelaskan kebijakannya yang meminta para diplomat, para staf lokal, para pelajar Indonesia dan warga Indonesia di seantero Jepang lainnya untuk menggunakan pin berbentuk dua bendera Indonesia dan Jepang di pakaian kerja mereka hingga berakhirnya tahun 2008.

"Pin ini menandai semangat kebangsaan kita sekaligus juga untuk memperingati 50 tahun hubungan persahabatan Indonesia dengan Jepang," katanya lagi.

Pagi itu, para peserta upacara, termasuk para pelajar dari Sekolah Republik Indonesia di Tokyo (SRIT) memang terlihat mengenakan pin di dada bagian kiri dari seragam dan pakaian yang dikenakan para warga Indonesia lainnya.

Dubes pada kesempatan itu juga membacakan amanat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam peringatan seabad Harkitnas yang intinya menekankan upaya bangsa Indonesia mengisi momentum Harkitnas dengan merevitalisasi tekad dan komitmen perjuangan bangsa sesuai dengan tantangan masa kini.

"Kita perlu menumbuhkan nilai-nilai sebagai suatu bangsa yang percaya diri dan memiliki daya saing dalam upaya mengembangkan semangat kebangsaan yang unggul," kata Dubes mengutip pidato Presiden.
Seruan bersemangat juga berkumandang di Konsulat Jenderal (Konjen) RI di Osaka yang dihadiri para diplomat dan staf lokal serta sebagian warga Indonesia lainnya di kota bisnis nomor dua terbesar di Jepang itu (setelah Tokyo).

Bagi-bagi Pin

Sebelum upacara berlangsung, salah seorang diplomat terlihat membagi-bagikan pin bagi para undangan yang belum mendapatkan pin berlambang dua bendera, Merah Putih dan Hinomaru (nama bendera Jepang).

Sementara itu, pelajar dari Sekolah Republik Indonesia di Tokyo (SRIT) terlihat sudah berbaris rapi dalam dua barisan dengan pin di dada masing-masing. Namun pin yang dibagikan kepada para pelajar itu berbeda dengan yang dipakai oleh warga Indonesia yang dewasa.

Khusus bagi para pelajar, pin yang dibagikan hanya berbentuk bendera Indonesia saja, tanpa ada bendera Jepang dan angka 50, yang menandai 50 tahun hubungan diplomatik Indonesia-Jepang pada tahun ini.

Wartawan Antara yang tidak mengenakan pin tersebut juga diminta mengenakan pin yang sama yang dikenakan warga lainnya. "Antara juga harus pakai dong," kata Kepala Fungsi Penerangan Ronny P Yuliantoro yang langsung menyematkan pin tersebut di pakaian sang wartawan.

Sumber:

http://www.kompas.com/read/xml/2008/05/21/09571634/indonesia.bisa.terdengar.di.tokyo